Labels

Senin, 24 Maret 2025

Cerita Gunung Ciremai



Gunung Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 mdpl. Selain keindahannya, gunung ini memiliki legenda dan sejarah panjang yang melekat dalam budaya masyarakat setempat. Gunung ini terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka, serta masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.


Legenda Gunung Ciremai

Menurut cerita, Walisongo mendaki Gunung Ciremai dipandu oleh kakek Sunan Gunung Jati. Dalam perjalanan, sang kakek kelelahan dan memilih beristirahat di sebuah batu besar yang kini dikenal sebagai Batu Lingga. Walisongo melanjutkan perjalanan hingga mencapai Puncak 1, tetapi menghadapi kesulitan karena kehabisan bekal. Mereka hanya memiliki nasi putih dan garam sebagai makanan, sehingga tempat itu kemudian dikenal sebagai Puncak Pengasinan.

Saat Walisongo berdoa meminta petunjuk, atas izin Allah, puncak tempat mereka berdiri amblas hingga sejajar dengan tempat istirahat sang kakek. Hal ini diyakini sebagai asal mula terbentuknya kawah Gunung Ciremai yang dalam dan menyeramkan jika dibandingkan dengan kawah gunung lainnya.


Gunung Ciremai Sebagai Gunung Berapi


Gunung Ciremai merupakan gunung api Tipe A, yang masih aktif meski tergolong tenang dibandingkan gunung api lain seperti Merapi. Letusan pertama yang tercatat dalam sejarah terjadi pada 3 Februari 1698, yang menyebabkan naiknya permukaan air sungai di sekitar Cirebon.

Letusan berikutnya terjadi pada 11-12 Agustus 1772, 1775, dan April 1805, tetapi tanpa dampak besar. Pada tahun 1917, terjadi semburan uap belerang di dinding selatan kawah, sedangkan pada 1924, fumarola kuat muncul di bagian barat kawah. Letusan besar terakhir tercatat antara 24 Juni 1937 hingga 7 Januari 1938, dengan abu vulkanik yang menyebar hingga 52.500 kilometer persegi, meski tanpa korban jiwa.

Meskipun tidak sering meletus, Ciremai tetap diawasi secara ketat oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG). Terdapat tiga kawasan rawan bencana (KRB) yang telah ditetapkan:

  1. KRB I (Daerah Bahaya): Radius 5 km dari kawah, berisiko terkena lahar panas dan awan panas.

  2. KRB II (Daerah Waspada): Radius 8 km dari kawah, berisiko terkena lontaran material vulkanik.

  3. KRB III (Daerah Siaga): Area lebih luas yang berpotensi terkena dampak letusan besar.


Kawasan Konservasi

 

Gunung Ciremai awalnya ditetapkan sebagai Hutan Lindung oleh pemerintah kolonial Belanda pada 28 Mei 1941. Namun, pada 10 Maret 1978, statusnya diubah menjadi hutan produksi, yang menyebabkan eksploitasi hutan dan perubahan ekosistem akibat penebangan liar.






Untuk mengembalikan keseimbangan ekologisnya, status Gunung Ciremai dikembalikan menjadi Hutan Lindung pada 4 Juli 2003. Kemudian, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004, kawasan ini resmi menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai pada 19 Oktober 2004, dan sejak tahun 2006 dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

Hipotermia di Ciremai: Antara Sok Kuat dan Nyaris Jadi Mumi


Saat Terpisah dari Rombongan, saya memutuskan untuk tetap summit meski suhu tubuh mulai menurun drastis. Dengan langkah berathawa dingin yang menusuk perlahan menguras tenaga saya.tubuh saya semakin melemah. Jantung berdetak cepat, kepala terasa ringan, dan saya mulai kehilangan kendali atas tubuh. Saya duduk di jalur pendakian untuk beristirahat sejenak, tetapi tanpa sadar justru kehilangan kesadaran.

Ketika tersadar, saya sudah berada di dalam tenda milik pendaki lain. Rupanya, saya ditemukan dalam kondisi hampir membeku dan segera digotong ke tempat aman. Pendaki lain membantu menghangatkan tubuh saya hingga kondisi saya berangsur membaik hingga merasa mampu melanjutkan Perjalanan Ke Puncak. dan saya berhasil mencapai puncak dan menikmati keindahan panorama dari ketinggian. 

Pelajaran penting? Jangan pernah memaksakan diri saat mendaki. Dengarkan tubuh, bawa perlengkapan yang memadai, dan selalu utamakan keselamatan. Hipotermia bisa datang tiba-tiba dan sangat berbahaya!


Pesan dari Mbah Saman


Seorang tokoh setempat, Mbah Saman, yang memiliki warung di jalur pendakian Linggarjati, selalu berpesan bahwa mendaki gunung harus dilakukan dari arah depan sebagai tanda penghormatan terhadap gunung, bukan dari belakang.

Gunung Ciremai bukan hanya tempat petualangan, tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya masyarakat sekitar. Menghormati gunung berarti juga menjaga keseimbangan alam dan melestarikan ekosistemnya untuk generasi mendatang.