Labels

Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Story. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 April 2025

AZMAR SI GRIFFIN

 




Oleh :Kabut Mandalawangi (Saksi Sunyi) 

Langit memerah di ujung cakrawala, seakan membakar hamparan tanah tandus yang terbentang luas, Angin mengembuskan dingin yang menusuk tulang, mengusap debu yang menutupi jejak kaki mereka yang berjalan tanpa arah. Di antara bayangan tebing yang menjulang, seekor Griffin melangkah, bulunya yang keemasan redup dalam cahaya yang meredup. Matanya menatap tajam ke depan, menembus kegelapan yang selama ini membungkus dunia.

Namanya Azmar, pencatat hukum bagi para penguasa.

Dunia ini tidak bertakhta pada seorang raja, tetapi berlutut pada kekuasaan yang tak terlihat. Kaum Agung -Naga Api, Leviathan, Chimera, dan Sphinx- menjaga hukum dalam genggamannya, menenunnya seperti jaring laba-laba yang hanya menangkap mereka yang lemah, sementara yang kuat melenggang bebas.

Di bawah mereka, Kaum Menengah -Griffin, Kitsune, Minotaur- duduk sebagai bidak dalam permainan takdir. Mereka cukup pintar untuk memahami dunia, tetapi tidak cukup kuat untuk mengubahnya. Sedangkan di bawah kaki mereka yang berdebu, Kaum Rendah merangkak, menghela napas dalam diam, menerima hidup sebagai beban yang harus dipikul. Phoenix tanpa sayap, Faun tanpa tanah, Harpy tanpa kebebasan, mereka bukan pemilik takdirnya, hanya serpih-serpih yang ditiupkan angin kepasrahan.

Dan Azmar? Ia menulis. Ia mencatat vonis yang telah diputuskan sebelum persidangan dimulai, hukuman yang hanya jatuh pada mereka yang tak memiliki kuasa untuk menghindar.

Seekor Phoenix kehilangan sayapnya karena meminum air dari sumur yang bukan miliknya.
Sekelompok Faun dibakar hidup-hidup karena nyanyian mereka dianggap menghina penguasa.
Seekor Minotaur dirantai dan dijadikan budak karena ia memilih berdiri daripada berlutut.

Azmar melihat. Azmar menulis. Namun, ia tidak melupakan.

Di balik tinta yang menghitamkan lembaran hukum, bara mulai menyala.

Malam turun, menyelimuti dunia dalam gulita yang lebih pekat dari rahasia yang disembunyikan oleh Kaum Agung. Di dalam gua yang diterangi oleh nyala obor yang gemetar, mereka berkumpul, makhluk-makhluk yang selama ini dibungkam, tetapi belum mati.

Di sana, di sudut yang gelap, seekor Phoenix yang telah kehilangan sayapnya duduk dengan mata yang masih membara. Di sisinya, seorang Faun dengan luka cambuk di punggungnya berdiri tegak, dan di belakangnya, seorang Minotaur mengepalkan tangan yang masih berbekas rantai.

Mereka tidak berbicara. Mereka menunggu.

Azmar menatap mereka, lalu berkata, "Kita telah terlalu lama tunduk."

Suara itu bukan teriakan. Ia tidak menggelegar seperti guntur, tetapi merayap seperti angin yang menusuk, masuk ke dalam dada mereka yang mendengarnya.

"Kaum Agung mengira mereka abadi," lanjutnya. "Mereka percaya bahwa kita akan terus membangun dunia ini untuk mereka. Tapi mereka lupa sesuatu."

Ia berhenti, membiarkan kata-katanya mengendap.

"Mereka hanya bisa berkuasa jika kita membiarkan mereka."

Di dalam gua yang lembab, sesuatu bergetar. Bukan suara, bukan gerakan, tetapi sesuatu yang lebih mendalam.

Harapan.

"Kita tidak akan menghunus pedang, tidak akan menumpahkan darah," ucap Azmar lagi. "Tetapi kita akan melakukan sesuatu yang lebih menakutkan bagi mereka. Kita akan berhenti membuat dunia ini bekerja untuk mereka."

Dan dengan kalimat itu, perang dimulai.

Pagi menjelang, tetapi roda dunia berputar lebih lambat dari biasanya.

Para Faun yang setiap pagi memanen gandum untuk perjamuan Kaum Agung tidak muncul.
Para Harpy yang mengantarkan pesan-pesan penting menolak mengepakkan sayap.
Para Minotaur yang menjaga gerbang membiarkan pintu-pintu terbuka lebar, membiarkan angin lewat tanpa perlawanan.

Di sumur yang dikuasai Leviathan, air mengering. Para Phoenix memilih menimbun sumur itu sendiri dari pada membiarkan penguasa mencicipinya.

Di istana, meja makan kosong, piring-piring bersih tanpa makanan, cawan-cawan tak diisi anggur.

Di jalanan, tak ada yang memberi salam pada penguasa, tak ada yang berlutut, tak ada yang menundukkan kepala.

Dan di atas singgasana batu, para penguasa mulai merasa takut.

Azmar ditangkap.

Ia dibelenggu, dihadapkan di Balai Hukum, di bawah tatapan Naga Api yang menyala.

"Azmar," suaranya menggelegar, mengguncang langit. "Kau telah menghancurkan tatanan. Kau telah melawan hukum. Apa yang kau katakan sebagai pembelaan?"

Azmar menatap sekeliling. Di luar gedung ini, ribuan makhluk berdiri dalam diam. Tidak ada teriakan. Tidak ada amukan. Hanya kesunyian yang lebih menusuk daripada perang.

Ia tersenyum.

"Aku tidak menghancurkan apa pun," katanya. "Aku hanya berhenti membantu kalian membangun sesuatu yang sudah busuk sejak awal."

Naga Api menggeram. "Hukum harus ditegakkan!"

Azmar mengangguk pelan. "Dan bagaimana caramu menegakkan hukum jika tidak ada yang mau menjalankannya?"

Sunyi.

Di luar, ribuan makhluk berdiri tegak, tanpa tunduk, tanpa gentar.

Dan Kaum Agung tahu, mereka telah kalah.

Jika mereka membunuh Azmar, namanya akan menjadi legenda. Jika mereka membiarkannya hidup, kisah ini akan terus tumbuh.

Akhirnya, dengan suara dingin, Naga Api berkata, "Bebaskan dia."

Azmar melangkah keluar dari Balai Hukum. Kali ini, bukan ia yang tunduk, tetapi para penguasa yang bergetar dalam diam.

Dan ketika para penguasa takut pada rakyatnya, itulah saat dunia benar-benar mulai berubah.

REALITAS DUNIA

Dunia Azmar adalah dunia kita, hanya tanpa sayap dan cakar.

Kita tidak hidup di bawah naga atau chimera, tetapi di bawah penguasa yang menciptakan hukum untuk melayani dirinya sendiri.

Seperti di dunia Azmar, banyak yang percaya bahwa mereka tidak bisa melawan. Bahwa hukum harus diterima tanpa pertanyaan. Bahwa ketidakadilan adalah bagian dari kehidupan.

Tetapi kesadaran adalah senjata yang paling tajam.

Gandhi tidak menghunus pedang, tetapi India mengguncang Inggris.

Rosa Parks hanya duduk di kursinya, tetapi sistem rasis mulai runtuh.

Rakyat yang menolak tunduk mengubah sejarah lebih dalam daripada perang.

Perlawanan yang paling berbahaya bagi tirani bukanlah senjata, tetapi kesadaran rakyat untuk berkata ‘tidak’.

Di dunia Azmar, perlawanan dimulai dengan penolakan untuk tunduk.

Di dunia kita, perlawanan dimulai ketika kita menyadari bahwa kita selalu punya pilihan.

Maka, apakah kita akan terus menjadi bagian dari sistem yang menindas, atau memilih untuk mengubahnya?

Azmar telah memilih jalannya.

Sang Hakim dan Perempuan di Ambang Batu

 


Oleh : Kabut Mandalawangi (Saksi Sunyi Semesta)

Alun-alun dipenuhi manusia. Mereka berdiri melingkar, membentuk tembok yang lebih kokoh dari batu, lebih dingin dari baja. Di tengahnya, seorang perempuan berlutut, kedua tangannya terikat. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena keletihan yang telah lama bersarang dalam hidupnya.


Dari kerumunan, seseorang berteriak.


“Perempuan ini telah mencemari negeri! Ia harus dihukum sesuai aturan!”


Suara itu disambut sorak sorai. Tangan-tangan mulai menggenggam batu, mata-mata menyala dengan api penghakiman. Mereka yang telah menghapal hukum luar kepala, kini siap menggunakannya sebagai cambuk.


Tetapi anehnya, di antara mereka ada yang semalam mengetuk pintu perempuan itu. Ada yang pernah berbisik mesra di telinganya. Ada yang membayar dengan keping emas, lalu pulang ke rumah dan berbicara tentang moralitas di meja makan.


Namun hari ini, mereka tak lagi mengenalnya.


Hari ini, mereka adalah hakim.


Tangan yang Menunggu untuk Melempar


Di sudut alun-alun, seorang lelaki berjubah berdiri dengan angkuh. Wajahnya teduh, suaranya tenang, tetapi tatapan matanya penuh kebanggaan.


"Batu pertama harus dilempar," katanya. "Hukum tidak bisa dikompromikan."


Seorang pria lain mengangguk setuju. Ia seorang saudagar kaya, dermawan di siang hari, penindas di malam hari. Di sebelahnya, seorang pejabat tinggi tersenyum tipis, ia paham aturan lebih baik dari siapa pun, dan ia juga tahu cara menghindarinya.


Dan di belakang mereka, berdiri rakyat jelata, yang percaya bahwa satu-satunya cara menutupi dosa mereka adalah dengan menghukum dosa orang lain.


Batu di tangan mereka semakin erat.


Tetapi sebelum ada yang melempar, seseorang melangkah ke tengah.


Lelaki itu bukan siapa-siapa. Ia bukan hakim, bukan pejabat, bukan penguasa. Tetapi saat ia berbicara, semua suara mendadak menghilang.


“Barang siapa di antara kalian yang tak pernah melanggar, silakan melempar batu pertama.”


Saat Batu Tak Lagi Terangkat


Hening.


Sorak sorai menguap. Jari-jari yang semula mencengkeram batu, kini mulai melonggar. Mata yang tadi menatap tajam, kini mencari arah lain untuk bersembunyi.


Yang pertama pergi adalah para pemuka yang namanya sering disebut dalam doa, tetapi juga dalam skandal. Lalu para saudagar yang membangun rumah ibadah dengan uang yang mereka peroleh dari menindas. Menyusul para pejabat yang mendirikan gedung pengadilan, tetapi menjual keputusannya kepada yang menawar lebih tinggi.


Hingga akhirnya, tak ada yang tersisa kecuali perempuan itu dan lelaki yang telah membungkam massa.


Perempuan itu mengangkat wajahnya, matanya masih dipenuhi ketakutan. Dengan suara lirih, ia bertanya,


“Apakah kau juga akan menghukumku?”


Lelaki itu menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.


“Aku tidak punya hak untuk itu. Tapi pergilah, sebelum mereka menemukan korban berikutnya.”


Perempuan itu bangkit, langkahnya masih goyah. Perlahan, ia menjauh, meninggalkan batu-batu yang teronggok di tanah—tak pernah sempat dilempar.


Di belakangnya, alun-alun kembali gaduh. Bukan oleh renungan, bukan oleh kesadaran, tetapi oleh kabar baru tentang seseorang yang lebih menarik untuk dicaci di hari esok.


Keadilan atau Sekadar Pertunjukan?


Di negeri yang sibuk membangun gedung pengadilan, hukum bukan lagi soal benar atau salah. Ia telah menjadi panggung sandiwara, di mana mereka yang berkuasa menentukan siapa yang layak dihukum dan siapa yang boleh bebas.


Hari ini, perempuan itu yang dipilih untuk dihukum.


Esok, bisa jadi siapa saja.


Sebab selama masih ada mereka yang ingin terlihat suci tanpa perlu menjadi suci, dan selama masih ada tangan yang siap melempar tanpa pernah bercermin, maka pertunjukan ini akan terus berulang.


Menanti korban berikutnya.