Labels

Rabu, 09 April 2025

“Menjejak Gunung Gawalise: Cerita, Alam, dan Potret Suku Kaili Da’a”


1. Menggali Akar: Mengapa Saya Melakukan Perjalanan Ini



Perjalanan ini berawal dari rasa penasaran yang sederhana: siapa sebenarnya Suku Kaili Da’a, dan bagaimana mereka hidup di kawasan Pegunungan Gawalise yang masih jarang dijamah? Selama ini, informasi yang saya temukan hanya bersifat umum dan terbatas, sementara nama mereka kerap disebut dalam konteks budaya pegunungan tanpa penjelasan yang cukup. Rasa ingin tahu itu mendorong saya untuk turun langsung ke lapangan, bukan hanya untuk melihat, tetapi juga untuk memahami seperti apa kehidupan mereka sehari-hari.




Saya tertarik pada cara mereka bertahan hidup, bagaimana mereka berpindah tempat tinggal dari satu area ke area lain mengikuti ketersediaan sumber daya alam. Mereka menjalani kehidupan yang berpola nomaden, membangun tempat tinggal dari bahan-bahan sederhana, bercocok tanam secara ladang berpindah, dan mengandalkan hasil hutan. Tidak ada kemewahan, yang saya temukan adalah sistem hidup yang berjalan karena kebutuhan, kebiasaan, dan pemahaman lokal tentang bagaimana menjaga keseimbangan dengan lingkungan sekitar.

Hidup nomaden bukanlah cara hidup yang mudah, tapi juga bukan sesuatu yang luar biasa dalam konteks mereka. Itu adalah bagian dari cara mereka membaca alam dan menyesuaikan diri. Melalui perjalanan ini, saya ingin mendekatkan diri pada realitas itu, bukan untuk mengagungkan, tapi untuk mencatat dan memahami. Tulisan ini saya susun sebagai bentuk dokumentasi awal, pengantar bagi siapa pun yang ingin mengenal lebih dekat masyarakat pegunungan yang selama ini mungkin hanya kita lihat dari jauh. Tidak semua hal bisa ditangkap lewat buku atau data, dan kadang, langkah kaki dan percakapan langsung jadi cara terbaik untuk mulai mengerti.


2. Gunung Gawalise: Latar Belakang dan Pertanyaan Utama

Gunung Gawalise bukan hanya gugusan tanah tinggi yang mengitari Kota Palu di sebelah barat. Ia adalah ruang hidup yang telah lama menyatu dengan budaya dan keseharian masyarakat adat, khususnya Suku Kaili Da’a. Bagi sebagian besar warga kota, Gawalise mungkin hanya dipahami sebagai tempat rekreasi alam atau jalur pendakian yang menantang. Namun bagi mereka yang tinggal dan lahir di sekitar lereng-lerengnya, gunung ini adalah rumah, tempat cerita turun-temurun bertumbuh.

Selama ini, jalur yang paling dikenal menuju puncak Gawalise adalah jalur umum yang cukup terjal dan sulit air. Jalur ini biasa digunakan oleh pendaki atau pecinta alam, namun sedikit sekali membawa kita bersentuhan langsung dengan masyarakat Da'a yang hidup di sekitarnya. 

Berangkat dari rasa penasaran dan semangat untuk melihat sisi lain dari Gawalise, saya memilih menelusuri jalur yang belum banyak dijamah. Jalur ini tidak saya tempuh dengan niat mendaki semata, melainkan sebagai upaya menyusuri ruang-ruang hidup masyarakat Kaili Da’a yang mungkin belum banyak dikisahkan dalam catatan resmi maupun dokumentasi publik. Saya ingin tahu: bagaimana sebenarnya bentuk keseharian mereka? Bagaimana mereka menata ruang, memaknai hutan, dan merespons perubahan zaman?

Lewat perjalanan ini, saya tidak hanya berharap bisa menginjak tanah-tanah yang belum dilalui banyak kaki, tetapi juga menyentuh lapisan-lapisan budaya yang selama ini tersembunyi di balik lebatnya hutan dan sunyinya jalur-jalur alternatif Gawalise.


3. Gawalise dalam Citra: Geografi, Iklim, dan Status Adat

Pegunungan Gawalise membentang megah di barat Kota Palu, Sulawesi Tengah, menjadi garis batas alam antara dataran rendah kota dan wilayah pegunungan yang lebih tinggi. Secara topografi, kawasan ini didominasi oleh lereng curam, punggungan memanjang, dan lembah-lembah sempit yang memerlukan ketelitian dan kekuatan fisik untuk melintasinya. Jalur umum menuju kawasan ini, seperti melalui Salena, Kanuna dan Kalora, cenderung terbuka dan terik, karena banyak bagian jalur telah terbuka dari tutupan hutan dan dipakai masyarakat luas. Sebaliknya, jalur tradisional yang digunakan oleh masyarakat Kaili Da’a terasa lebih teduh dan menyatu dengan alam melewati hutan yang masih lebat, mengikuti kontur dan irama bentang alam Gawalise yang alami.

Secara iklim, kawasan ini memiliki suhu yang lebih sejuk dibandingkan dataran Palu yang panas dan kering. Suhu rata-rata harian berkisar antara 25–30°C dengan curah hujan yang cukup tinggi karena pengaruh Geografis, udara lembap dari laut naik ke pegunungan dan membentuk hujan. Kondisi ini membuat kawasan hutan Gawalise tetap hijau dan menyimpan banyak mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun, di bagian kaki gunung, terutama di area yang lebih dekat ke kota, mulai muncul aktivitas ekstraksi seperti tambang batu split. Penambangan batu ini memanfaatkan lereng-lereng bukit yang relatif mudah diakses dan digunakan untuk kebutuhan material pembangunan. Meskipun secara ekonomi memiliki nilai, kehadiran tambang ini juga menimbulkan perubahan pada lanskap, serta ancaman terhadap kelestarian jalur air dan keseimbangan ekologis kawasan.

Di tengah semua dinamika ini, Gawalise tetap memiliki nilai penting sebagai wilayah adat. Wilayah ini telah diakui secara resmi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), menandai eksistensi masyarakat Kaili Da’a yang telah lama hidup di dalamnya secara turun-temurun. Mereka mengelola kawasan ini bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai ruang hidup yang menyatu dengan pengetahuan lokal. Dengan sistem zonasi adat, mereka membedakan wilayah garapan, hutan larangan, dan ruang sakral. Pola hidup semi-nomaden yang mereka jalani mengikuti musim tanam, ketersediaan air, dan dinamika lingkungan. Melalui perjalanan ini, saya melihat bagaimana ruang hidup mereka bukan hanya soal tempat tinggal, tetapi juga warisan kultural dan spiritual yang dijaga dengan serius, meskipun kini mereka menghadapi tekanan dari luar, termasuk aktivitas tambang dan perubahan lanskap akibat pembangunan.


4. Suku Kaili Da’a: Warisan Budaya dan Identitas Pegunungan

Suku Da'a, subkelompok dari etnis Kaili yang mendiami wilayah pegunungan di Sulawesi Tengah, memiliki asal-usul yang mencerminkan percampuran antara populasi pra-Austronesia dan Austronesia. Ciri fisik mereka, seperti kulit berwarna cokelat cenderung gelap, postur tubuh pendek dan kekar, serta rambut keriting, menunjukkan kemiripan dengan kelompok Australomelanesid, yang diduga merupakan penduduk awal Nusantara sebelum kedatangan penutur Austronesia sekitar 5.000 tahun lalu. Secara budaya, Suku Da'a memiliki tradisi unik, seperti membangun rumah di atas pohon dan ritual 'Powati', yang mencerminkan warisan budaya lokal yang khas. Meskipun demikian, mereka menuturkan dialek Da'a dari bahasa Kaili, yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, menunjukkan adanya pengaruh dari migrasi penutur Austronesia yang datang kemudian. Dengan demikian, Suku Da'a merupakan hasil dari interaksi kompleks antara populasi awal pra-Austronesia dan migrasi Austronesia yang lebih baru, menciptakan identitas etnis yang unik di Sulawesi Tengah.

Narasi lokal (tradisi tutur) menyebutkan bahwa nenek moyang mereka “naik ke gunung” untuk menghindari gangguan dan untuk menjaga hubungan spiritual dengan alam dan leluhur. Pegunungan Gawalise yang berhutan lebat, kaya air, dan relatif sulit diakses dianggap sebagai tempat ideal untuk membangun tatanan hidup yang lebih stabil dan otonom. Di sana mereka membentuk pola hidup semi-nomaden dengan rumah panggung atau rumah pohon, bertani secara berpindah, dan mengelola hutan berdasarkan aturan adat (customary zoning) yang diwariskan lintas generasi. Gaya hidup ini mencerminkan relasi ekologis yang erat dengan alam, di mana wilayah dianggap tidak sekadar ruang ekonomi, tetapi juga ruang kosmologis. Secara ekologis, kawasan ini menyediakan sumber daya penting (mata air, rotan, binatang buruan) sementara secara budaya, gunung menjadi bagian dari sistem kepercayaan mereka.

Penelusuran keberadaan masyarakat ini telah mendapat pengakuan dari berbagai lembaga, salah satunya melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), yang mencatat wilayah adat mereka sebagai bagian dari identitas kolektif masyarakat adat di Indonesia. Penelitian tentang masyarakat Kaili dan subetnisnya, termasuk Kaili Da’a, juga telah dilakukan oleh berbagai peneliti seperti Helius Sjamsuddin dan Christian Pelras, serta dicatat dalam arsip kolonial Belanda dan misi gereja awal. Dengan demikian, kehadiran Suku Kaili Da’a di Pegunungan Gawalise bukanlah bentuk keterpencilan semata, melainkan pilihan ekologis dan historis yang sarat nilai, sebuah proses panjang pembentukan identitas masyarakat pegunungan yang masih bertahan di tengah tekanan zaman.


5. Observasi dan Pendekatan Lapangan


Perjalanan saya ke kawasan pegunungan Gawalise dimulai Melakukan Observasi dengan menunggang motor trail bersama seorang teman Saya dari Mapala Muhibbul Bi'ah yang akrab dipanggil Black. Motor trail memungkinkan kami menjelajahi jalur-jalur tanah dan berbatu yang sulit dilalui kendaraan biasa. Jalur ini merupakan rute yang biasa digunakan warga untuk berkebun atau menuju dusun-dusun kecil di lereng gunung. Sepanjang jalan, saya mencatat kondisi alam, kemiringan medan, vegetasi, serta titik-titik penting yang digunakan warga untuk beristirahat atau menandai batas wilayah adat. Dengan panduan dari Black dan interaksi langsung bersama warga setempat, saya bisa memahami banyak hal yang tidak terlihat dari luar. Dari hasil penelusuran itu, kami kemudian menyusun plot jalur yang paling memungkinkan dan aman untuk melintasi Gunung Gawalise, sambil tetap memperhatikan faktor cuaca, akses air, serta wilayah yang dijaga secara adat. Selama perjalanan, saya berusaha menjaga sikap, tidak mengambil gambar atau masuk ke area tertentu tanpa izin, dan selalu menghormati aturan yang berlaku di masyarakat. Semua itu menjadi bagian penting dari perjalanan ini, agar tetap selaras dengan alam dan orang-orang yang menjaganya.



6.Transformasi Sosial dan Ekonomi


Masyarakat Kaili Da’a di kawasan Gawalise mengalami perubahan sosial yang perlahan namun nyata. Dari yang dulunya hidup berpindah-pindah secara nomaden dengan membangun rumah-rumah pohon dan menggantungkan hidup pada hasil buruan dan sumber daya hutan liar, kini mereka mulai menetap dalam komunitas-komunitas kecil yang lebih terstruktur. Rumah-rumah panggung sederhana mulai mendominasi lanskap kampung-kampung seperti Lewara, mencerminkan pergeseran ke pola hidup yang lebih stabil dan menetap. Bersamaan dengan itu, lahan-lahan yang dulu hanya digunakan sementara kini mulai ditanami secara jangka panjang dengan komoditas seperti kopi, cengkeh, dan durian, tanaman yang bukan hanya untuk konsumsi sendiri, tetapi juga menjadi sumber ekonomi baru.

Transformasi ini juga tidak bisa dilepaskan dari masuknya pengaruh luar, baik dalam bentuk pendidikan formal, ajaran agama, maupun dinamika ekonomi modern. Sekolah-sekolah mulai hadir di sekitar wilayah perbukitan, memperkenalkan generasi muda pada cara pandang dan peluang baru di luar komunitas. Begitu pula dengan agama, yang perlahan memberi corak baru dalam tatanan nilai dan ritual masyarakat. Di sisi lain, kebutuhan ekonomi membuat sebagian warga mulai menjual hasil kebun atau menjadi buruh di sektor-sektor luar kampung. Perubahan ini membawa harapan sekaligus tantangan: bagaimana menjaga akar budaya dan kearifan lokal di tengah derasnya arus transformasi sosial yang terus berjalan.

7. Menelusuri Jalur Gawalise: Perspektif Lanskap dan Budaya

Gambaran Jalur
Perjalanan saya melintasi Gunung Gawalise dilakukan bersama 3 orang rekan saya dari Mapala Muhibbul Bi'ah, sebuah organisasi pencinta alam yang telah lama melakukan kegiatan eksplorasi lingkungan Gawalise. Kami bertiga memilih jalur alternatif yang jarang dilalui pendaki umum,jalur yang terasa lebih bersahabat dengan kontur landai, lembap, dan banyak dialiri sumber air alami. Jalur ini kontras dengan rute umum yang curam, kering, dan panas karena minimnya tutupan pohon. Sepanjang perjalanan, kami tidak hanya melintasi hutan, tetapi juga memasuki wilayah-wilayah yang masih menjadi ruang hidup masyarakat adat Kaili Da’a, salah satunya adalah perkampungan Lewara. Di kampung ini, kami menyaksikan langsung kebiasaan masyarakat saat membuka lahan baru, yang dimulai dengan membangun shelter kecil untuk roh-roh penghuni sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Setelah lahan dibuka, alat seperti parang biasanya dikubur di ujung lahan sebagai penanda bahwa pekerjaan telah selesai dan agar roh penjaga tidak terusik.


Interaksi kami dengan warga berlangsung penuh kehati-hatian, sebab sebagian dari mereka tampak canggung ketika melihat kehadiran orang luar. Wajar saja, sebab jalur ini memang sangat jarang dilalui oleh pendatang. Namun setelah kami menyampaikan maksud dan menjaga etika selama berada di wilayah adat, mereka mulai terbuka dan berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Kami melihat aktivitas seperti bertani, membuka kebun, serta ada warga yang membawa sumpit, alat tradisional yang digunakan untuk berburu di hutan. Dari perjalanan ini, saya belajar bahwa Gawalise bukan sekadar bentang alam yang indah, tetapi juga lanskap budaya yang dihuni oleh orang-orang dengan kearifan lokal yang masih hidup dan dijaga. Bersama ketiga rekan saya dari Mapala Muhibbul Bi'ah, perjalanan ini menjadi ruang belajar yang penuh makna, tentang hubungan manusia dengan alam, tentang adat, dan tentang cara hidup yang tetap berakar meski dikelilingi dunia yang terus berubah.


Berikut Video Dokumentasi Perjalanan Selama Kami Melintasi Gunung Gawalise:




8. Harmoni dan Tantangan: Alam, Adat, dan Perubahan Zaman

Masyarakat Kaili Da’a yang mendiami kawasan pegunungan Gawalise memiliki hubungan yang sangat khas dengan lingkungan mereka, hubungan yang dibentuk tidak semata karena kebutuhan hidup, tetapi karena pandangan dunia yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa atasnya. Dalam tradisi mereka, hutan, batu, sungai, dan angin bukan hanya elemen fisik, melainkan juga entitas yang hidup, memiliki roh, dan harus dihormati. Praktik adat seperti membangun bali puu (shelter kecil) untuk roh penghuni hutan sebelum membuka lahan, serta mengubur parang di ujung kebun sebagai simbol penutup kegiatan, mencerminkan etika ekologis yang sangat kuat.

Kepercayaan semacam itu melahirkan sistem pengetahuan lokal yang mengatur kapan boleh menebang pohon, bagaimana memilih lokasi kebun yang tidak merusak ekosistem, hingga teknik berburu yang tidak membahayakan kelestarian satwa. Sumpit misalnya, alat berburu khas mereka tidak hanya mencerminkan efisiensi teknologi lokal, tapi juga filosofi kehati-hatian dalam mengambil dari alam. Mereka percaya bahwa mengambil secara berlebihan bisa mengundang bencana. Karena itu, hutan di Gawalise hingga kini masih memiliki kawasan-kawasan yang terjaga secara alami, menjadi bukti bahwa konservasi bisa lahir dari budaya, bukan dari kebijakan luar.

Namun, harmoni ini tidak hidup dalam ruang hampa. Ia kini menghadapi tantangan besar dari luar: modernisasi yang masuk lewat pembangunan jalan akses, kemudahan teknologi komunikasi, dan tekanan ekonomi yang meningkat. Aktivitas tambang batu split di kaki gunung Gawalise, meskipun tampak dalam skala industri, telah membawa perubahan sosial yang cukup berarti. Beberapa warga muda mulai meninggalkan tradisi bertani dan memilih bekerja sebagai pekerja tambang. Sementara itu, tanah yang dulunya dianggap sebagai warisan leluhur mulai dipertimbangkan untuk dijual atau dijadikan komoditas. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam keterikatan dengan ruang adat, kini menghadapi tarik-menarik antara nilai lama dan kebutuhan baru.

Akses luar yang semakin terbuka membawa efek ganda, di satu sisi menawarkan peluang ekonomi dan pendidikan, tapi di sisi lain mempercepat erosi nilai-nilai lokal. Di sinilah letak tantangannya: bagaimana mempertahankan kearifan lokal di tengah arus global yang tidak bisa dibendung? Jawabannya tentu bukan dengan mengisolasi mereka, atau memaksakan agenda pembangunan dari luar. Sebaliknya, dibutuhkan pendekatan yang lebih sensitif secara budaya dan berbasis pada partisipasi masyarakat itu sendiri.

Pendekatan berbasis budaya ini tidak hanya melindungi hak masyarakat adat atas tanah dan hutan, tetapi juga mengakui mereka sebagai mitra dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya alam. Mereka bukan objek pembangunan, tetapi aktor utama yang telah membuktikan bahwa hidup selaras dengan alam bukan hanya mungkin, tapi nyata. Sayangnya, terlalu sering suara mereka diabaikan, atau dianggap tidak relevan oleh sistem formal yang lebih percaya pada data kuantitatif daripada pengetahuan turun-temurun.

Menjaga Gawalise berarti menjaga orang-orang yang tinggal di dalamnya. Apa yang dibutuhkan masyarakat Kaili Da’a bukan sekadar proyek bantuan atau intervensi jangka pendek, tapi ruang untuk tetap hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka telah menjaga hutan jauh sebelum kita membicarakan krisis iklim, dan merekalah yang paling terdampak jika harmoni ini rusak. Dalam konteks itulah, perjalanan saya ke Gawalise menjadi lebih dari sekadar pendakian atau eksplorasi lanskap, ia menjadi pelajaran tentang bagaimana masa depan keberlanjutan justru bisa digali dari kearifan yang selama ini tersembunyi di punggung gunung, dalam kesunyian kampung adat, dan dalam langkah hati-hati para penjaga hutan yang nyaris tak terdengar suaranya.


9. Refleksi: Gawalise sebagai Ruang Hidup, Bukan Objek Wisata

Perjalanan melintasi Gunung Gawalise memberi saya kesadaran baru bahwa gunung ini bukan sekadar tempat untuk ditaklukkan atau dicentang dari daftar destinasi petualangan. Gawalise bukan sekadar lanskap indah dengan hutan lebat dan udara sejuk; ia adalah ruang hidup yang selama berabad-abad menjadi rumah bagi masyarakat Kaili Da’a, komunitas adat yang hidup selaras dengan alam dan mewarisi pengetahuan ekologis yang jarang terdokumentasikan. Di balik jalur-jalur sunyi yang kami lalui, terdapat sistem nilai yang hidup dalam tradisi membuka lahan, dalam tata cara berburu, dalam kepercayaan terhadap roh penjaga, serta dalam kebiasaan menandai tanah bukan dengan pagar, tetapi dengan simbol-simbol penghormatan. Gawalise bukan tempat kosong. Ia penuh dengan jejak kaki, sejarah lisan, dan hubungan spiritual yang masih dijaga dengan kehati-hatian.

Interaksi saya dengan masyarakat setempat, meski singkat dan penuh batas etika, membuka mata bahwa keberlanjutan sejati tidak bisa dipisahkan dari manusia yang hidup di dalam lanskap itu. Masyarakat Kaili Da’a tidak menjaga hutan karena program konservasi atau insentif dari luar, tapi karena alam bagi mereka adalah bagian dari keluarga yang harus dihormati, bukan dimanfaatkan secara serakah. Inilah pelajaran penting yang saya bawa pulang, bahwa konservasi yang abai terhadap budaya lokal justru bisa menjadi bentuk kekerasan baru terhadap ruang hidup komunitas adat.

Lebih jauh, saya merasa narasi tentang Gawalise dan masyarakatnya tidak seharusnya terus-menerus disusun oleh orang luar seperti saya. Sudah saatnya mereka sendiri diberi ruang dan kesempatan untuk menulis dan menceritakan kisahnya. Karena hanya mereka yang tahu bagaimana rasanya tumbuh bersama hutan, bagaimana menyikapi perubahan zaman, dan bagaimana bertahan tanpa kehilangan jati diri. Jika kita benar-benar peduli pada keberlanjutan dan keadilan ekologis, maka kita juga harus mulai melihat gunung ini bukan sebagai panggung wisata atau medan eksplorasi semata, melainkan sebagai rumah dengan semua dinamika, kebijaksanaan, dan kerentanannya.


10. Penutup dan Rekomendasi

 kawasan seperti Gawalise tidak cukup hanya mengandalkan catatan ilmiah atau kisah perjalanan dari luar. Penting untuk melibatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama dalam menyampaikan narasi mereka sendiri baik melalui tulisan, cerita lisan, maupun partisipasi dalam riset dan perencanaan kawasan. Masyarakat Kaili Da’a telah mendiami kawasan pegunungan Gawalise selama ratusan bahkan diperkirakan ribuan tahun. Mereka hidup berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain dalam gugusan hutan ini, menjadikan Gawalise bukan hanya tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas dan sistem pengetahuan mereka. Pengetahuan mereka tentang ruang hidup, cuaca, tumbuhan, hingga kepercayaan terhadap roh alam adalah sumber informasi yang tak tergantikan. Sayangnya, banyak dari pengetahuan ini belum terdokumentasi secara layak dan berisiko hilang di tengah arus modernisasi yang terus bergerak.

Bagi para pendaki, peneliti, dan pengambil kebijakan, saya merekomendasikan pendekatan yang lebih partisipatif, dialogis, dan etis dalam menjelajahi serta mengelola kawasan seperti Gawalise. Jalur alternatif yang melewati wilayah adat, misalnya, sebaiknya tidak hanya dinilai dari sisi keindahan atau keamanan saja, tetapi juga dari dampaknya terhadap masyarakat lokal. Pelibatan mereka dalam menentukan akses, menjaga batas-batas adat, serta menjelaskan aturan-aturan tak tertulis adalah langkah penting agar perjalanan kita tidak menjadi bentuk perampasan ruang secara halus.

Akhirnya, saya ingin mengajak siapa pun yang ingin menelusuri pegunungan seperti Gawalise untuk menjelajah dengan rasa hormat dan belajar dengan rendah hati. Bukan sekadar menaklukkan alam, tetapi membuka diri untuk mengenal kehidupan yang tumbuh di dalamnya, manusia, budaya, dan kisah-kisah yang telah lama hidup berdampingan dengan hutan, kabut, dan waktu.

Sekian...

Data Jalur Terlampir:

https://earth.google.com/earth/d/1TusUKG6U4wfLMwEWrlN6M9EyFVG8Q6K7?usp=sharing