Oleh : Kabut Mandalawangi (Saksi Sunyi Semesta)
Alun-alun dipenuhi manusia. Mereka berdiri melingkar, membentuk tembok yang lebih kokoh dari batu, lebih dingin dari baja. Di tengahnya, seorang perempuan berlutut, kedua tangannya terikat. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena keletihan yang telah lama bersarang dalam hidupnya.
Dari kerumunan, seseorang berteriak.
“Perempuan ini telah mencemari negeri! Ia harus dihukum sesuai aturan!”
Suara itu disambut sorak sorai. Tangan-tangan mulai menggenggam batu, mata-mata menyala dengan api penghakiman. Mereka yang telah menghapal hukum luar kepala, kini siap menggunakannya sebagai cambuk.
Tetapi anehnya, di antara mereka ada yang semalam mengetuk pintu perempuan itu. Ada yang pernah berbisik mesra di telinganya. Ada yang membayar dengan keping emas, lalu pulang ke rumah dan berbicara tentang moralitas di meja makan.
Namun hari ini, mereka tak lagi mengenalnya.
Hari ini, mereka adalah hakim.
Tangan yang Menunggu untuk Melempar
Di sudut alun-alun, seorang lelaki berjubah berdiri dengan angkuh. Wajahnya teduh, suaranya tenang, tetapi tatapan matanya penuh kebanggaan.
"Batu pertama harus dilempar," katanya. "Hukum tidak bisa dikompromikan."
Seorang pria lain mengangguk setuju. Ia seorang saudagar kaya, dermawan di siang hari, penindas di malam hari. Di sebelahnya, seorang pejabat tinggi tersenyum tipis, ia paham aturan lebih baik dari siapa pun, dan ia juga tahu cara menghindarinya.
Dan di belakang mereka, berdiri rakyat jelata, yang percaya bahwa satu-satunya cara menutupi dosa mereka adalah dengan menghukum dosa orang lain.
Batu di tangan mereka semakin erat.
Tetapi sebelum ada yang melempar, seseorang melangkah ke tengah.
Lelaki itu bukan siapa-siapa. Ia bukan hakim, bukan pejabat, bukan penguasa. Tetapi saat ia berbicara, semua suara mendadak menghilang.
“Barang siapa di antara kalian yang tak pernah melanggar, silakan melempar batu pertama.”
Saat Batu Tak Lagi Terangkat
Hening.
Sorak sorai menguap. Jari-jari yang semula mencengkeram batu, kini mulai melonggar. Mata yang tadi menatap tajam, kini mencari arah lain untuk bersembunyi.
Yang pertama pergi adalah para pemuka yang namanya sering disebut dalam doa, tetapi juga dalam skandal. Lalu para saudagar yang membangun rumah ibadah dengan uang yang mereka peroleh dari menindas. Menyusul para pejabat yang mendirikan gedung pengadilan, tetapi menjual keputusannya kepada yang menawar lebih tinggi.
Hingga akhirnya, tak ada yang tersisa kecuali perempuan itu dan lelaki yang telah membungkam massa.
Perempuan itu mengangkat wajahnya, matanya masih dipenuhi ketakutan. Dengan suara lirih, ia bertanya,
“Apakah kau juga akan menghukumku?”
Lelaki itu menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Aku tidak punya hak untuk itu. Tapi pergilah, sebelum mereka menemukan korban berikutnya.”
Perempuan itu bangkit, langkahnya masih goyah. Perlahan, ia menjauh, meninggalkan batu-batu yang teronggok di tanah—tak pernah sempat dilempar.
Di belakangnya, alun-alun kembali gaduh. Bukan oleh renungan, bukan oleh kesadaran, tetapi oleh kabar baru tentang seseorang yang lebih menarik untuk dicaci di hari esok.
Keadilan atau Sekadar Pertunjukan?
Di negeri yang sibuk membangun gedung pengadilan, hukum bukan lagi soal benar atau salah. Ia telah menjadi panggung sandiwara, di mana mereka yang berkuasa menentukan siapa yang layak dihukum dan siapa yang boleh bebas.
Hari ini, perempuan itu yang dipilih untuk dihukum.
Esok, bisa jadi siapa saja.
Sebab selama masih ada mereka yang ingin terlihat suci tanpa perlu menjadi suci, dan selama masih ada tangan yang siap melempar tanpa pernah bercermin, maka pertunjukan ini akan terus berulang.
Menanti korban berikutnya.