Labels

Sabtu, 29 Maret 2025

Koordinat Geografis: Format DMS dan Desimal, Fungsi, Tujuan, dan Cara Konversi





Pengertian Koordinat Geografis

Koordinat geografis adalah sistem yang digunakan untuk menentukan lokasi suatu titik di permukaan bumi. Sistem ini terdiri dari dua elemen utama:

  • Garis Lintang (Latitude): Menunjukkan posisi utara atau selatan dari garis khatulistiwa.

  • Garis Bujur (Longitude): Menunjukkan posisi timur atau barat dari garis meridian utama.

Koordinat geografis dinyatakan dalam satuan derajat (°). Terdapat dua format utama dalam penulisan koordinat geografis:

  1. Format Derajat, Menit, Detik (DMS)

  2. Format Desimal (DD)


Perbedaan Format DMS dan Desimal

1. Format Derajat, Menit, Detik (DMS)

Format DMS menggunakan tiga satuan untuk menuliskan koordinat:

  • Derajat (°): Angka yang menunjukkan posisi utama.

  • Menit ('): 1 menit = 1/60 derajat.

  • Detik ("): 1 detik = 1/60 menit.

Contoh:
7° 45' 30" S, 110° 30' 15" E

Keunggulan:

  • Digunakan dalam navigasi tradisional dan peta cetak.

  • Lebih mudah dibaca.

2. Format Desimal (DD)

Format desimal menuliskan koordinat dalam bentuk angka desimal.

Contoh:
-7.7583, 110.5042

Keunggulan:

  • Lebih sederhana dan sering digunakan dalam sistem digital, seperti Google Maps dan perangkat GPS modern.


Fungsi dan Tujuan Koordinat Geografis

Koordinat geografis memiliki berbagai kegunaan di berbagai bidang, antara lain:

  1. Navigasi dan Pemetaan
    Digunakan dalam sistem navigasi global (GPS) dan pemetaan digital (GIS) untuk perencanaan kota dan penelitian lingkungan.

  2. Pelacakan dan Transportasi
    Membantu dalam pelacakan kendaraan, pengelolaan rute, dan layanan transportasi online.

  3. Survei dan Kartografi
    Mempermudah pembuatan peta serta pengukuran area dengan lebih akurat.

  4. Eksplorasi dan Penelitian
    Membantu ilmuwan dalam menentukan lokasi penelitian geologi dan ekologi.


Cara Konversi DMS ke Desimal

Untuk mengonversi koordinat dari format DMS ke desimal, gunakan rumus berikut:

Desimal =D+M60+S3600\text{Desimal} = D + \frac{M}{60} + \frac{S}{3600}

Contoh:
Koordinat DMS:

  • Lintang: 7° 45' 30" S

  • Bujur: 110° 30' 15" E

Konversi menjadi format desimal:

  • Lintang: -7.7583

  • Bujur: 110.5042


Cara Konversi Desimal ke DMS

Untuk mengonversi koordinat desimal ke DMS, lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Pisahkan Derajat
    Bagian angka sebelum desimal menjadi derajat (D).

  2. Hitung Menit
    Kalikan angka desimal dengan 60 dan ambil angka sebelum desimal sebagai menit (M).

  3. Hitung Detik
    Kalikan sisa desimal dari menit dengan 60 untuk mendapatkan detik (S).

Contoh:
Koordinat Desimal:

  • Lintang: -7.7583

  • Bujur: 110.5042

Konversi menjadi DMS:

  • Lintang: 7° 45' 30" S

  • Bujur: 110° 30' 15" E


Kesimpulan

Baik format DMS maupun desimal memiliki kegunaannya masing-masing:

  • Format DMS lebih umum dalam peta cetak dan navigasi manual.

  • Format Desimal lebih praktis digunakan dalam teknologi digital dan pemrograman.

Memahami perbedaan dan cara konversi antara keduanya sangat penting dalam berbagai bidang, seperti navigasi, pemetaan, dan penelitian.

Senin, 24 Maret 2025

Cerita Gunung Ciremai



Gunung Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 mdpl. Selain keindahannya, gunung ini memiliki legenda dan sejarah panjang yang melekat dalam budaya masyarakat setempat. Gunung ini terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka, serta masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.


Legenda Gunung Ciremai

Menurut cerita, Walisongo mendaki Gunung Ciremai dipandu oleh kakek Sunan Gunung Jati. Dalam perjalanan, sang kakek kelelahan dan memilih beristirahat di sebuah batu besar yang kini dikenal sebagai Batu Lingga. Walisongo melanjutkan perjalanan hingga mencapai Puncak 1, tetapi menghadapi kesulitan karena kehabisan bekal. Mereka hanya memiliki nasi putih dan garam sebagai makanan, sehingga tempat itu kemudian dikenal sebagai Puncak Pengasinan.

Saat Walisongo berdoa meminta petunjuk, atas izin Allah, puncak tempat mereka berdiri amblas hingga sejajar dengan tempat istirahat sang kakek. Hal ini diyakini sebagai asal mula terbentuknya kawah Gunung Ciremai yang dalam dan menyeramkan jika dibandingkan dengan kawah gunung lainnya.


Gunung Ciremai Sebagai Gunung Berapi


Gunung Ciremai merupakan gunung api Tipe A, yang masih aktif meski tergolong tenang dibandingkan gunung api lain seperti Merapi. Letusan pertama yang tercatat dalam sejarah terjadi pada 3 Februari 1698, yang menyebabkan naiknya permukaan air sungai di sekitar Cirebon.

Letusan berikutnya terjadi pada 11-12 Agustus 1772, 1775, dan April 1805, tetapi tanpa dampak besar. Pada tahun 1917, terjadi semburan uap belerang di dinding selatan kawah, sedangkan pada 1924, fumarola kuat muncul di bagian barat kawah. Letusan besar terakhir tercatat antara 24 Juni 1937 hingga 7 Januari 1938, dengan abu vulkanik yang menyebar hingga 52.500 kilometer persegi, meski tanpa korban jiwa.

Meskipun tidak sering meletus, Ciremai tetap diawasi secara ketat oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG). Terdapat tiga kawasan rawan bencana (KRB) yang telah ditetapkan:

  1. KRB I (Daerah Bahaya): Radius 5 km dari kawah, berisiko terkena lahar panas dan awan panas.

  2. KRB II (Daerah Waspada): Radius 8 km dari kawah, berisiko terkena lontaran material vulkanik.

  3. KRB III (Daerah Siaga): Area lebih luas yang berpotensi terkena dampak letusan besar.


Kawasan Konservasi

 

Gunung Ciremai awalnya ditetapkan sebagai Hutan Lindung oleh pemerintah kolonial Belanda pada 28 Mei 1941. Namun, pada 10 Maret 1978, statusnya diubah menjadi hutan produksi, yang menyebabkan eksploitasi hutan dan perubahan ekosistem akibat penebangan liar.






Untuk mengembalikan keseimbangan ekologisnya, status Gunung Ciremai dikembalikan menjadi Hutan Lindung pada 4 Juli 2003. Kemudian, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004, kawasan ini resmi menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai pada 19 Oktober 2004, dan sejak tahun 2006 dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

Hipotermia di Ciremai: Antara Sok Kuat dan Nyaris Jadi Mumi


Saat Terpisah dari Rombongan, saya memutuskan untuk tetap summit meski suhu tubuh mulai menurun drastis. Dengan langkah berathawa dingin yang menusuk perlahan menguras tenaga saya.tubuh saya semakin melemah. Jantung berdetak cepat, kepala terasa ringan, dan saya mulai kehilangan kendali atas tubuh. Saya duduk di jalur pendakian untuk beristirahat sejenak, tetapi tanpa sadar justru kehilangan kesadaran.

Ketika tersadar, saya sudah berada di dalam tenda milik pendaki lain. Rupanya, saya ditemukan dalam kondisi hampir membeku dan segera digotong ke tempat aman. Pendaki lain membantu menghangatkan tubuh saya hingga kondisi saya berangsur membaik hingga merasa mampu melanjutkan Perjalanan Ke Puncak. dan saya berhasil mencapai puncak dan menikmati keindahan panorama dari ketinggian. 

Pelajaran penting? Jangan pernah memaksakan diri saat mendaki. Dengarkan tubuh, bawa perlengkapan yang memadai, dan selalu utamakan keselamatan. Hipotermia bisa datang tiba-tiba dan sangat berbahaya!


Pesan dari Mbah Saman


Seorang tokoh setempat, Mbah Saman, yang memiliki warung di jalur pendakian Linggarjati, selalu berpesan bahwa mendaki gunung harus dilakukan dari arah depan sebagai tanda penghormatan terhadap gunung, bukan dari belakang.

Gunung Ciremai bukan hanya tempat petualangan, tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya masyarakat sekitar. Menghormati gunung berarti juga menjaga keseimbangan alam dan melestarikan ekosistemnya untuk generasi mendatang.

Aturan Naismith dalam Perkiraan Waktu Pendakian


Oleh: Kabut Mandalawangi

1. Pendahuluan: Aturan Naismith merupakan metode empiris yang digunakan untuk memperkirakan waktu tempuh dalam kegiatan pendakian. Aturan ini pertama kali diperkenalkan oleh William Wilson Naismith pada tahun 1892 dan sejak saat itu menjadi dasar perhitungan waktu perjalanan di berbagai medan pendakian di seluruh dunia. Prinsip utama dari aturan ini adalah menghitung waktu tempuh berdasarkan kecepatan rata-rata berjalan di medan datar dan penyesuaian terhadap elevasi.

2. Prinsip Dasar Aturan Naismith: Aturan dasar yang diajukan oleh Naismith adalah sebagai berikut:

  • Kecepatan berjalan di medan datar adalah 5 km/jam.

  • Untuk setiap kenaikan elevasi 10 meter, ditambahkan 1 menit waktu perjalanan.

  • Untuk setiap penurunan curam secara terus-menerus, ditambahkan 1 menit per 30 meter penurunan.

Sebagai contoh, apabila seseorang menempuh jalur pendakian sejauh 1 km dengan kenaikan elevasi 50 meter, maka waktu tempuh yang diperlukan dapat dihitung dengan:

3. Modifikasi Aturan Naismith:  Seiring waktu, para peneliti dan pendaki menemukan bahwa aturan Naismith cenderung mengasumsikan kondisi fisik ideal yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, berbagai modifikasi dan koreksi telah diperkenalkan, di antaranya:

3.1 Tranter’s Correction Tranter’s Correction memperhitungkan tingkat kebugaran individu dalam menentukan perkiraan waktu pendakian. Pengujian dilakukan dengan mengukur waktu tempuh dalam mendaki medan 800 meter dengan elevasi 300 meter. Hasil pengujian tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menyesuaikan waktu tempuh yang dihitung dengan aturan Naismith. Jika kondisi medan sulit, cuaca buruk, atau beban yang dibawa cukup berat, maka tingkat kebugaran seseorang harus dikurangi satu tingkat.

3.2 Koreksi oleh Alex Satrapa Dalam catatan yang ditulis oleh Alex Satrapa dan dirilis oleh The Boy’s Brigade Australia, aturan Naismith mengalami beberapa penyesuaian, yaitu:

Medan "easy going": 5 km/jam
Medan "easy scrambling": 3 km/jam
Medan sulit (pasir dalam, salju lunak, semak lebat): 1 km/jam
Tambahan 1 jam untuk setiap kenaikan 500 meter
Tambahan 1 jam untuk setiap penurunan 1 km
Tambahan 1 jam setiap 5 jam perjalanan untuk mengakomodasi kelelahan

3.3 Koreksi Berdasarkan Wikipedia Untuk medan menurun, koreksi berikut diterapkan:

Penurunan ≤ 12 derajat: setiap 300 meter dikurangi 10 menit
Penurunan > 12 derajat: setiap 300 meter ditambahkan 10 menit

Alternatif lain yang lebih sederhana adalah menambahkan 25% hingga 50% waktu tambahan dari hasil perhitungan awal dengan aturan Naismith.

4. Faktor Tambahan yang Mempengaruhi Waktu Pendakian: Meskipun berbagai aturan dan koreksi telah diajukan, faktor-faktor berikut tetap harus diperhitungkan dalam estimasi waktu perjalanan:

  • Ketahanan fisik individu

  • Beban yang dibawa (misalnya peralatan berat atau persediaan logistik)

  • Kondisi medan (tanah keras, lumpur, salju, atau pasir)

  • Kondisi cuaca (hujan, angin kencang, suhu ekstrem)

  • Waktu istirahat (disarankan 10 menit per 1 jam perjalanan, menurut The Complete Walker IV oleh Collin Fletcher dan Chip Rawlins)

5. Analisis Rute: Sebelum Pendakian Sebelum memulai perjalanan, analisis medan harus dilakukan melalui pemetaan dan perhitungan waktu tempuh. Beberapa langkah yang direkomendasikan meliputi:

  • Menghitung jarak sebenarnya berdasarkan peta topografi.

  • Menentukan elevasi dan perbedaan ketinggian dengan menginterpretasi garis kontur.

  • Mengidentifikasi tanda-tanda medan penting, seperti sungai, danau, dan punggungan.

  • Mengevaluasi kemungkinan perubahan medan yang tidak tergambar di peta akibat faktor alam.

6. Kesimpulan: Aturan Naismith merupakan metode dasar yang sangat membantu dalam perencanaan pendakian, meskipun memiliki keterbatasan dalam mempertimbangkan variabel lingkungan dan kondisi individu. Oleh karena itu, berbagai koreksi seperti Tranter’s Correction dan modifikasi dari sumber lain dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi perhitungan. Selain itu, faktor-faktor eksternal seperti cuaca, medan, dan beban yang dibawa juga harus dipertimbangkan agar estimasi waktu perjalanan lebih realistis dan sesuai dengan kondisi aktual di lapangan.

 Referensi: 

  • Bagshaw, C. (2006). The Ultimate Hiking Skills Manual. David & Charles Publishing.

  • Fletcher, C., & Rawlins, C. (2002). The Complete Walker IV. Alfred A. Knopf.

  • Wikipedia. "Naismith’s Rule". Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Naismith%27s_rule

  • Satrapa, A. (n.d.). Notes on Hiking Time Calculation. The Boy’s Brigade Australia.