Labels

Selasa, 08 April 2025

Sisi Gelap Dinasti Umayyah dan Dinasti Lainnya: Tinjauan Historis dan Reflektif terhadap Kekuasaan dalam Islam



Pendahuluan

Dinasti Umayyah (661–750 M), dengan pusat kekuasaan di Damaskus, merupakan kekhalifahan Islam pertama yang mengambil bentuk monarki herediter. Berbeda dari sistem kepemimpinan era Khulafaur Rasyidin yang berbasis musyawarah (syura), Umayyah memperkenalkan model pewarisan kekuasaan keluarga. Walaupun di bawah pemerintahannya Islam mengalami ekspansi besar-besaran, dari Spanyol di barat hingga India di timur, sejarah juga mencatat aspek gelap dari kekuasaan ini. Artikel ini akan membahas sisi kelam Dinasti Umayyah dan beberapa dinasti Islam lainnya dari aspek politik, kekerasan terhadap oposisi, diskriminasi sosial, penyimpangan moral, dan manipulasi agama, serta mengambil pelajaran penting dari peristiwa-peristiwa tersebut.

1. Monarki Herediter dan Keruntuhan Prinsip Syura

Setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengambil alih kepemimpinan dan mendirikan Dinasti Umayyah. Salah satu langkah kontroversial yang diambil Mu'awiyah adalah penunjukan putranya, Yazid bin Mu'awiyah, sebagai khalifah berikutnya. Langkah ini menandai pergeseran radikal dari sistem syura menuju monarki turun-temurun.

Penunjukan Yazid menuai penolakan keras dari banyak tokoh sahabat Nabi, seperti Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar. Mereka menilai Yazid tidak layak secara moral dan spiritual. Wilferd Madelung dalam The Succession to Muhammad (1997, hlm. 252–253) menyebut bahwa tindakan ini merupakan awal dari kemerosotan legitimasi politik dalam Islam.

2. Tragedi Karbala dan Penindasan terhadap Ahlul Bait

Penolakan Husain bin Ali terhadap kepemimpinan Yazid berujung pada tragedi Karbala pada tahun 680 M. Dalam peristiwa ini, Husain bersama keluarganya dibantai oleh pasukan Umayyah. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Nihayah menyebut tragedi ini sebagai salah satu peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah umat Islam.

Peristiwa ini menimbulkan luka mendalam dalam sejarah umat Islam, khususnya Syiah. Hossein Nasr menyebut tragedi Karbala sebagai simbol abadi perlawanan terhadap penindasan. Tindakan represif Umayyah terhadap keluarga Nabi mengundang kritik moral dan teologis dari banyak kalangan.

3. Kekerasan terhadap Penduduk Sipil: Al-Harrah dan Pengepungan Mekkah

Pada 683 M, pemberontakan warga Madinah dijawab dengan invasi brutal oleh pasukan Umayyah yang dipimpin Muslim bin Uqbah. Sejarawan seperti Al-Tabari mencatat bahwa ribuan penduduk dibunuh dan perempuan diperkosa dalam peristiwa Al-Harrah. Beberapa ulama menganggap tragedi ini sebagai bencana spiritual bagi dunia Islam.

Di Mekkah, pasukan Umayyah menyerang kota suci dan merusak Ka'bah. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip kesucian Haramain dan memperburuk reputasi kekuasaan Yazid.

4. Diskriminasi terhadap Non-Arab (Mawali)

Di bawah Umayyah, muslim non-Arab (mawali) mengalami marginalisasi politik dan sosial. Mereka tetap dikenai pajak dan tidak diberi hak politik setara dengan muslim Arab. Patricia Crone dalam Slaves on Horses menyebutkan bahwa diskriminasi ini menjadi salah satu faktor pendorong utama revolusi Abbasiyah.

Fred Donner menambahkan bahwa marginalisasi mawali menyebabkan keresahan yang meluas, karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan universal dalam Islam. Kebijakan ini menciptakan stratifikasi sosial yang tajam dan melemahkan solidaritas umat.

5. Gaya Hidup Mewah dan Kemerosotan Moral

Khalifah-khalifah seperti Walid II dikenal karena perilaku hedonistik, mabuk-mabukan, dan kehidupan istana yang penuh pesta. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menilai bahwa kemerosotan moral penguasa adalah pertanda awal keruntuhan suatu dinasti. Narasi-narasi dekadensi ini terekam dalam karya Al-Mas'udi dan Al-Jahiz.

Penyimpangan moral elit kekuasaan menjadi ironi besar dalam negara yang seharusnya menjunjung nilai-nilai spiritual. Rakyat mulai kehilangan kepercayaan, dan para ulama pun bersuara menentang, meskipun banyak dari mereka kemudian disiksa atau dibunuh.

6. Manipulasi Agama

Dinasti Umayyah menggunakan khutbah Jumat sebagai media propaganda. Nama Ali bin Abi Thalib dikutuk secara sistematik dalam mimbar resmi. Kebijakan ini baru dihentikan oleh Umar bin Abdul Aziz. Khatib-khatib dibayar untuk melegitimasi kekuasaan dan menyebarkan doktrin loyalitas mutlak kepada khalifah.

Manipulasi agama ini menciptakan atmosfer teokrasi otoriter, di mana tafsir agama dimonopoli oleh negara. Ulama-ulama independen seperti Hasan al-Bashri menjadi korban karena mengkritik penguasa.

7. Sisi Gelap Dinasti Abbasiyah dan Mamluk

Tidak hanya Umayyah, dinasti Islam lainnya pun memiliki sisi kelam. Abbasiyah, walaupun mengawali kekuasaannya dengan semangat keadilan, juga mengalami praktik tirani, perebutan kekuasaan berdarah, dan pembunuhan antar keluarga. Khalifah Al-Mutawakkil dikenal represif terhadap kelompok Syiah dan minoritas lainnya.

Pada masa Dinasti Mamluk, para budak militer yang berkuasa menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat menjadi alat untuk eksploitasi dan pembantaian, termasuk terhadap komunitas intelektual. Ibn Taymiyyah, misalnya, dipenjara oleh Mamluk karena kritiknya terhadap kebijakan politik dan agama penguasa.

8. Hikmah dan Refleksi Historis

Sejarah kekuasaan Islam memperlihatkan bahwa penyimpangan dari prinsip dasar Islam keadilan, syura, dan akhlak, akan membawa kehancuran. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, bukan amanah, maka agama hanya dijadikan alat politik. Tragedi-tragedi seperti Karbala dan Al-Harrah mengajarkan pentingnya menolak tirani dan memperjuangkan keadilan.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib, "Kekuasaan tanpa keadilan adalah bentuk tertinggi dari kezaliman." Pelajaran dari sejarah ini penting untuk direnungkan dalam konteks politik Islam masa kini.

Referensi

  1. Al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk.

  2. Ibn Kathir. Al-Bidayah wa Nihayah.

  3. Ibn al-Athir. Al-Kamil fi al-Tarikh.

  4. Ibn Khaldun. Muqaddimah.

  5. Wilferd Madelung. The Succession to Muhammad. Cambridge University Press, 1997.

  6. Hugh Kennedy. The Prophet and the Age of the Caliphates. Longman, 1986.

  7. Patricia Crone. Slaves on Horses. Cambridge University Press, 1980.

  8. Fred M. Donner. The Early Islamic Conquests. Princeton University Press, 1981.

  9. Robert G. Hoyland. In God’s Path. Oxford University Press, 2015.

  10. Seyyed Hossein Nasr. Ideals and Realities of Islam. Allen & Unwin, 1966.

  11. Al-Mas'udi. Muruj al-Dhahab.

  12. Al-Jahiz. Al-Bayan wa al-Tabyin.

  13. Mahmoud Ayoub. Redemptive Suffering in Islam. Mouton, 1978.

  14. Marshall Hodgson. The Venture of Islam, Vol. 1. University of Chicago Press, 1974.