Dalam banyak organisasi, terutama di lingkungan mahasiswa, sistem senioritas masih menjadi fondasi yang dianggap tak tergoyahkan. Senior diposisikan sebagai pusat otoritas, bukan karena kemampuan analitis atau prestasi intelektual, melainkan semata-mata karena lebih dulu masuk. Pola pikir seperti ini bukan hanya usang, tetapi juga berbahaya, karena menempatkan pengalaman semu di atas kemampuan berpikir akademis yang seharusnya menjadi identitas utama mahasiswa. Akibatnya, organisasi bergerak tanpa arah, terjebak dalam tradisi yang tidak diuji, dan terancam stagnan.
Salah satu dampak paling nyata dari senioritas berlebih adalah keputusan organisasi yang tidak lagi berbasis data, logika, atau kebutuhan aktual anggota. Banyak program kerja diulang hanya karena “tradisi”, bukan karena terbukti efektif. Evaluasi jarang dilakukan secara objektif, dan jika pun dilakukan, sering kali sekadar formalitas untuk mempertahankan pola lama. Dalam kondisi ini, organisasi berhenti menjadi ruang belajar dan berubah menjadi institusi yang takut berubah.
Lebih jauh lagi, dominasi senior menciptakan iklim anti-inovasi. Junior seringkali memiliki gagasan segar yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi ide-ide itu dipatahkan oleh argumentasi dangkal: “kamu belum tahu apa-apa,” atau “ikut saja dulu alurnya.” Sikap seperti ini menutup pintu bagi kreativitas, padahal kreativitas adalah sumber utama pertumbuhan organisasi. Ketika ide baru tidak diberi ruang, stagnasi adalah konsekuensi otomatis.
Budaya senioritas yang menolak perubahan juga menumbuhkan pola pikir berbahaya: kepatuhan tanpa alasan. Junior belajar bahwa cara bertahan dalam organisasi bukan dengan berpikir kritis, bukan dengan menawarkan solusi, tetapi dengan mengikuti kehendak senior agar dianggap “patuh”. Dalam jangka panjang, hal ini membunuh karakter akademis mahasiswa. Padahal, mahasiswa seharusnya mampu berpikir seperti akademisi, menguji argumen, mempertanyakan asumsi, menggunakan data, dan berani menyampaikan analisis objektif. Ketika pola pikir akademis digantikan oleh hierarki, organisasi kehilangan esensi utamanya: tempat tumbuhnya intelektualitas.
Stagnasi juga muncul karena sistem senioritas sering melahirkan kepemimpinan semu. Tidak semua senior otomatis kompeten. Namun struktur senioritas memaksa junior untuk menerima keputusan dari orang yang mungkin tidak memiliki kemampuan strategis, tidak memahami dinamika baru, atau bahkan tidak lagi aktif. Otoritas yang tidak diimbangi kompetensi inilah yang membuat organisasi berjalan seperti mesin tua yang dipaksa bergerak: lambat, penuh hambatan, dan rentan salah arah.
Jika organisasi ingin berkembang, maka senioritas harus diredefinisi. Senior seharusnya tidak menjadi penguasa keputusan, tetapi mentor yang membuka ruang diskusi, mempersiapkan generasi berikutnya dengan pengetahuan dan pengalaman yang relevan. Pengambilan keputusan harus kembali mengedepankan prinsip akademis: analisis, riset kecil, dialog terbuka, dan evaluasi berbasis data. Di atas semua itu, organisasi harus memprioritaskan kualitas ide, bukan usia keanggotaan.
Perubahan budaya memang tidak mudah, tetapi stagnasi lebih mahal harganya. Organisasi yang gagal menerima ide baru akan ditinggalkan oleh perkembangan zaman dan kehilangan relevansi di mata mahasiswa itu sendiri. Dengan meninggalkan senioritas buta dan kembali menegakkan budaya ilmiah, organisasi bukan hanya berkembang, tetapi juga kembali pada tujuan sejatinya: menjadi tempat para mahasiswa tumbuh, berpikir, dan menghasilkan perubahan nyata.
Organisasi mahasiswa stagnan bukan karena kekurangan potensi, tetapi karena pola pikir senioritas yang mengalahkan cara berpikir akademis. Selama tradisi lebih dihormati daripada logika, selama suara junior lebih sering dibungkam daripada dipertimbangkan, maka stagnasi tidak akan terhindarkan. Perubahan dimulai ketika senior mau menjadi pembimbing, ketika junior berani berpikir, dan ketika organisasi kembali menjadikan ilmu pengetahuan sebagai fondasi pengambilan keputusan.
Sistem senioritas tidak selalu buruk, tetapi menjadi masalah ketika mengalahkan logika, mematikan kreativitas, dan menutup pintu inovasi. Stagnasi muncul bukan karena kurangnya potensi, tetapi karena budaya organisasi tidak memberi ruang pada pola pikir akademis yang seharusnya menjadi jantung kehidupan mahasiswa.
Dengan mengubah senioritas menjadi mentorship, menerapkan evaluasi objektif, mendorong kreativitas junior, dan memilih pemimpin berdasarkan kompetensi, organisasi tidak hanya keluar dari stagnasi
tetapi juga menjadi lebih progresif, relevan, dan sehat untuk jangka panjang.